PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an
merupakan kalamullah yang Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui
malaikat Jibril. Di dalam kitab suci ini terangkum berbagai kekuasaan Allah
tentang segala yang ada di bumi maupun di langit.
Kitab suci Al-qur’an merupakan kitab terakhir dan
penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya, sehingga kaedah dalam membaca dan
menjaganya pun telah Allah atur dan benar-benar harus diperhatikan.
Dari sini sangat penting kita mendalami pengetahuan
tentang Ilmu Tajwid (kaedah serta cara-cara membaca Al-Qur’an) dan wajib
kiranya kita memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta
memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca.
Sama halnya dengan Al-Qur’an, Ilmu Tajwid (kaedah serta
cara-cara membaca Al-Qur’an) juga berkembang secara bertahap sejak zaman
Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern seperti sekarang ini. Tentunya dalam perkembangan Ilmu Tajwid dari zaman Khulafa
Ar-Rasyidin sampai pada zaman modern, ada perawi-perawi dan pencetus perkembangan
Ilmu Tajwid tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Dari
sedikit uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa sejarah perkembangan Ilmu
Tajwid tidak lepas dari peranan para Khulafa Ar-Rasyidin dan ulama-ulama pada
zaman tersebut sampai zaman sekarang. Sangat penting pengetahuan tentang Ilmu
Tajwid, jadi sangat urgent kiranya kita ketahui dan dan kita pelajari tentang
sejarah Ilmu Tajwid serta perkembangannya.
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Ilmu Tajwid
Pengertian
Tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu. Sedangkan
menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaedah serta cara-cara
membaca al-Quran dengan sebaik-baiknya.
Tujuan
ilmu tajwid adalah memelihara bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan
serta memelihara lisan (mulut) dari kesalahan membaca. Belajar ilmu tajwid itu
hukumnya fardu kifayah, sedangkan membaca al-Quran dengan baik (sesuai dengan
ilmu tajwid) itu hukumnya Fardu ‘Ain.
Asal Kata Tajwid yaitu dari kata Bahasa Arab jawwada-
yujawwidu- tajwiidan mengikuti wazan taf’iil yang berarti membuat sesuatu
menjadi bagus. Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka
kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Qur’an itu
diturunkan kepada Rasulullah SAW. Ini kerena Rasulullah SAW
sendiri diperintah untuk membaca al-Qur’an dengan
tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam surat al-Muzammil ayat 4.
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
"Bacalah
al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)."
Kemudian Nabi
Muhammad SAW mengajar
ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan bahwa Istilah tajwid muncul
ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang
firman Allah yang terdapat dalam surat al-Muzammil ayat 4 tersebut kemudian
Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf
wa ma’rifatil wuquuf yang berarti membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai
dengan makhraj dan shifat) dan tahu tempat-tempat waqaf.
Ini menunjukkan bahwa pembacaan
al-Qur’an bukanlah suatu ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama' yang
diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi pembacaan
al-Qur’an adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari
sumbernya yang asli, yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah SAW.
Para sahabat r.a adalah orang-orang yang
amanah dalam mewariskan bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya.
Mereka tidak akan menambah atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu,
karena rasa takut mereka yang tinggi kepada Allah SWT dan begitulah juga
generasi setelah mereka.
Perlu diketahui bahwa pada masa Rasulullah صلى
الله
عليه
وسلم dan
Khulafaur Rasyidin belum ada mushaf al-Qur’an seperti yang ada sekarang ini. Pada saat itu al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab yang belum
ada tanda bacanya sebagaimana tulisan Arab saat ini. Jangankan harakat fathah
(baris atas), kasrah (baris bawah), dhommah (baris depan), dan sukun (tanda
wakaf, mati), bentuk serta tanda titik-koma (tanda baca) saja tidak ada. Ilmu
tajwid pun belum ada dan bahkan Al-Qur’an juga baru dibukukan sepeninggal
Rasulullah صلى الله عليه
وسلم.
Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan
ilmu Tajwid yang paling awal ialah ketika bermulanya
kesadaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu
diletakkan titik-titik kemudiannya, baris-baris bagi setiap huruf dan
perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil
bin Ahmad Al-Farahidi. Karena pada masa itu Khalifah umat Islam
memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mulai melakukan-kesalahan dalam bacaan.
Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan Mushaf
al-Qur’an dalam enam atau tujuh buah.
Beliau telah
membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya karena memberi
keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya
sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah SAW sesuai dengan Lahjah
(dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam. Tetapi setelah berkembang luasnya
agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat
Islam pada tahun 1 dan 2 Hijriah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa
penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya
kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan
al-Qur’an. Maka al-Qur’an Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada
huruf-hurufnya bagi karangan ilmu qira’at yang paling awal sepakat, yang
diketahui oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu 'Ubaid
Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya "Al-Qira’at" pada kurun ke-3
Hijriah.
Akan
tetapi ada yang
mengatakan, apa yang telah disusun oleh Abu 'Umar
Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qira’at adalah lebih
awal. Pada kurun ke-4 Hijriah pula, lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan
karangannya "Kitabus Sab'ah", dimana beliau adalah orang yang
mula-mula mengasingkan qira’at kepada tujuh imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan
dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh naskah. Kesemuanya pada masa itu
karangan ilmu tajwid yang paling awal, barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani
dalam bentuk qasidah (puisi) ilmu tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijriah adalah
yang terulung. Sejarah berbicara pemberian tanda baca (syakal) berupa titik dan
harakat (baris) baru mulai dilakukan ketika Dinasti Umayyah memegang tampuk
kekuasaan kekhalifahan Islam atau setelah 40 tahun umat Islam membaca
al-Qur’an tanpa ada syakal.
Pemberian
titik dan baris pada mushaf al-Qur’an ini dilakukan dalam tiga fase.
Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah
menugaskan Abdul Aswad Ad-Duali untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap
kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H),
khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa
itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu
huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa’ dengan satu
titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di
atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay
bin Ya’mar.
Pada
masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin
luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan
al-Qur’an bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah
untuk menuliskan al-Qur’an dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya
agar adanya keseragaman bacaan al-Qur’an baik bagi umat Islam yang
keturunan Arab ataupun non-Arab (‘ajami).
Perkembangan
zaman masih banyak orang Islam yang masih kesulitan membacanya. Baru kemudian
pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah,
fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam
membaca al-Qur’an. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris
yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi
bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga
yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama
selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan
menghafal al-Quran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan
tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad. Ilmu tajwid pun lahir karena hasil ijtihad para ulama masa
itu. Lalu mereka
juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor
ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca),
menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan al-Quran
adalah tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa
kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang
berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan
adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan
warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca al-Quran. Ini
semua berkat peran para ulama di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik,
terutama dalam membaca al-Quran. Dalam Alquran surah Al-Hijr (15) ayat 9, Allah
berfirman, ”Sesungguhnya, Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami pula yang
menjaganya.” Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian
al-Qur’an selama-lamanya hingga akhir zaman dari pemalsuan. Karena itu, banyak
umat Islam, termasuk di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم, yang hafal al-Qur’an. Dengan adanya umat yang hafal al-Qur’an
maka al-Qur’an pun akan senantiasa terjaga hingga akhir zaman.
Selanjutnya, demi memudahkan umat membaca al-Qur’an
dengan baik, mushaf al-Qur’an pun dicetak sebanyak-banyaknya setelah
melalui tashih (pengesahan dari ulama-ulama yang hafal al-Qur’an). Dan al-Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1530
Masehi atau sekitar abad ke-10 H di Bundukiyah (Vinece). Namun, kekuasaan
gereja memerintahkan agar Al-Qur’an yang telah dicetak itu dibasmi.
Kemudian, Hankelman mencetak al-Qur’an di Kota Hamburg (Jerman) pada tahun
1694 M atau sekitar abad ke-12 H.[1] Kini,
al-Qur’an telah dicetak di berbagai negara di dunia.
B. Pengertian
Tajwid
Tajwīd (تجويد) secara harfiah bermakna melakukan sesuatu
dengan elok dan indah atau bagus dan membaguskan, tajwid berasal dari kata
Jawwada (جوّد-يجوّد-تجويدا) dalam bahasa Arab. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti
mengeluarkan huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang
dimilikinya. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan atau
mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an maupun
bukan.
Sebagian besar ulama mengatakan,
bahwa tajwid itu adalah suatu cabang ilmu yang sangat penting untuk dipelajari
sebelum mempelajari ilmu qira’at alqur’an. Ilmu tajwid adalah pelajaran untuk
memperbaiki bacaan alqur’an. Ilmu tajwid itu diajarkan sesudah pandai membaca
huruf Arab dan telah dapat membaca alqur’an sekedarnya.
Adapun masalah-masalah yang
dikemukakan dalam ilmu ini adalah makharijul huruf (tempat keluar-masuk huruf),
shifatul huruf (cara pengucapan huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf),
ahkamul maddi wal qasr (panjang dan pendek ucapan), ahkamul waqaf wal ibtida’
(memulai dan menghentikan bacaan) dan al-Khat al-Utsmani.
Pengertian lain dari ilmu tajwid ialah menyampaikan
dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan ayat al-Quran. Para
ulama menyatakan bahwa hukum bagi mempelajari tajwid itu adalah fardhu kifayah
tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca al-Qur’an adalah fardhu ain atau wajib
kepada lelaki dan perempuan yang mukallaf atau dewasa.
Untuk menghindari kesalahpahaman
antara tajwid dan qira’at, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan tajwid, pendapat sebagaian ulama memberikan pengertian tajwid
sedikit berbeda namun pada intinya sama sebagaimana yang dikutip Hasanuddin.[2]
Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau
membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai
dengan makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik
berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.Sebagian
ulama yang lain mendefinisikan tajwid sebagai berikut :
“Tajwid ialah mengucapkan huruf
(al-Qur’an) dengan tertib menurut yang semestinya, sesuai dengan makhraj serta
bunyi asalnya, serta melembutkan bacaannya sesempurna mungkin tanpa berlebihan
ataupun dibuat-buat”. Rasulullah bersabda : "Bacalah olehmu Al-Qur'an,
maka sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberi syafaat/pertolongan
ahli-ahli Al-Qur'an (yang membaca dan mengamalkannya)." (HR. Muslim).
Rasulullah bersabda : "Orang yang paling baik di
antara kamu ialah orang yang belajar Al-qur’an dan mengajarkannya kepada orang
lain." (HR. Bukhori). Sebelum mulai mempelajari ilmu tajwid sebaiknya kita mengetahui
lebih dahulu bahwa setiap ilmu ada sepuluh asas yg menjadi dasar pemikiran
kita. Berikutnya dikemukakan 10 asas Ilmu Tajwid :
1. Pengertian tajwid menurut bahasa : Memperelokkan
sesuatu.Menurut istilah ilmu tajwid : Melafazkan setiap huruf dari makhrajnya yang
betul serta memenuhi hak-hak setiap huruf.
2. Hukum mempelajari ilmu tajwid adalah Fardhu Kifayah
danmengamalkannya yakni membaca Al-Quran dengan bertajwid adalah Fardhu Ain
bagi setiap muslimin dan muslimat yang mukallaf.
3. Tumpuan perbincangannya: Pada kalimah-kalimah Al-Qur’an.
4. Kelebihannya : Ia adalah semulia mulia
ilmu karena ia langsung berkaitan dengan kitab Allah (Al-Qur’an).
5. Penyusunnya : Imam-Imam Qira’at.
6. Faedahnya : Mencapai kejayaan dan
kebahagiaan serta mendapat rahmat dan keridhaan Allah di dunia dan
akhirat, Insya-Allah.
7. Dalilnya : Dari Kitab Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW
8. Nama Ilmu : Ilmu Tajwid.
9. Masalah yang diperbaincangkan : Mengenai kaedah-kaedah
dan cara-cara bacaannya secara keseluruhan yang memberi pengertian hukum-hukum
cabangan.
10. Matlamatnya
: Memelihara lidah daripada kesalahan membaca ayat-ayat suci Al-Quran
ketika membacanya, membaca sejajar dengan penurunannya yang sebenarnya
dari Allah SWT.
C. Pengertian Qira’at.
Sebagaimana yang telah kita pahami mengenai pengertian
qiraat bahwa qiraat adalah Ilmu yang mempelajari tentang cara atau metode
membaca (pengucapan) lafal atau kalimat al-Qur’an beserta perbedaan-perbedaanya
yang disandarkan kepada orang yang menukilnya (imam), seperti yang menyangkut
aspek kebahsaan; I’raab, hadzf, isbat, fashl, washl yang diperoleh dengan cara
periwayatannya.
D. Hubungan Qira’at dengan Tajwid.
Dari pengertian tajwid dan qiraat diatas terdapat
hubungan antara keduanya, bahwa tajwid dan qiraat adalah cara atau metode
pengucapan lafal-lafal atau huruf di dalam al-Qur’an, tajwid lebih bersifat teknis
dengan upaya memperindah bacaan al-Qur’an, dengan cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an sesuai
dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun qira’at lebih substansial, yaitu
pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, kalimat ataupun dialek kebahasaan.
E. Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa tajwid telah dikenal pada masa Rasulullah SAW, karena pada saat itu
masyarakat sudah tahu cara membaca al-Qur’an dengan benar. Adapun hubungan qira’at dengan
tajwid ialah, tajwid lebih bersifat teknis dengan upaya memperindah bacaan
al-Qur’an dengan
cara membunyikan huruf-huruf al-Qur’an sesuai dengan makhraj serta sifat-sifatnya. Adapun
qira’at lebih
substansial, yaitu pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, kalimat ataupun dialek
kebahasaan. Jadi berbicara tentang tajwid tidak turut pula ketinggalan untuk
berbicara qira’at juga.
PUSTAKA
RS Abdul Aziz. 1991 Tafsir Ilmu
Tafsir, Jakarta: Balai Pustaka.
Tarib Moh.Sejarah Ilmu Tajwid.http://refrensiaku-ku.blogspot.com:
Diakses pada tanggal 30 April 2014, Pukul 08.00.
Zulfidar Akaha. Abduh. 1996
Al-Qur’an dan Qiroat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsara.
0 comments:
Post a Comment
tolong comment yang baek2 aja